Header Ads

Mengenal Guru Marzuki Cipinang Muara, Ulama Betawi yang Produktif [2]

Mengenal Guru Marzuki Cipinang Muara, Ulama Betawi yang Produktif [2]

PecintaUlama.ID - Tulisan ini menyajikan biografi singkat seorang ulama Jakarta atau Betawi dari akhir abad ke-19 dan awal ke-20, yakni Guru Marzuki. Masyarakat Betawi biasa juga menyebut dengan Guru Marzuki, yang membedakannya dengan sebutan 'mu'allim' dan 'ustaz', meskipun sekarang dalam beberapa tulisan terkadang disebut dengan Kiai Marzuki. 'Guru' adalah level tertinggi dalam derajat keulamaan di kalangan masyarakat Betawi atau Jakarta tempo dulu.

Guru Marzuki, termasuk "enam pendekar" atau "the six teachers", guru dari para ulama Betawi dari akhir abad ke-19 hingga awal dan pertengahan abad ke-20. Dari keenam ulama tersebut di atas, bisa dikatakan Guru Marzuki termasuk ulama yang relatif lebih banyak menuliskan pemikirannya dalam bentuk kitab atau risalah dibanding dengan ulama lainnya. Memang, karya tulis KH Muhammad Mansur atau Guru Mansur lebih banyak dari Guru Marzuki, namun jika dilihat dari daftar murid-murid yang ditunjukkan dalam silsilah guru-murid, maka murid-murid dari Guru Marzuki adalah yang paling banyak menjadi ulama dibanding dengan KH Muhammad Mansur.

Nama lengka beliau, sebagaimana tertulis dalam karya-karyanya, adalah Ahmad al-Marzuqi bin Mirsad (untuk selanjutnya saya menggunakan ejaan biasa yakni: Ahmad Marzuki bin Mirsad). Adapun namanya yang lebih lengkap tersebut dalam riwayat hidup yang ditulis oleh anaknya Muhammad Baqir Marzuki, yakni Ahmad al-Marzuqi bin al-Mirsad bin Hasnum bin Khatib Sa'ad bin 'Abd al-Rahman bin al-Sultan al-Mulaqab bi Laqsana Malayang, yang merupakan salah seorang sultan Melayu di Negeri Pattani Thailand Selatan. Jadi dari sisi ayah, Guru Marzuki masih mempunyai darah keturunan bangsawan Melayu Pattani. Adapun ibunya bernama al-Hajah Fatimah bint almarhum al-haj Syihab al-din bin Magrabi al-Maduri, yang berasal dari pulau Madura, keturunan Maulana Ishaq Gresik Jawa Timur. Adapun kakek dari ibunya, yakni Syihab al-din adalah seorang khatib di Masjid Jami' al-Anwar Rawa Bangke (Rawa Bunga) Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam karya-karyanya, Guru Marzuki biasa menambahkan dengan kata 'Muara', sehingga menjadi Ahmad Marzuki Muara, yang maksudnya adalah Cipinang Muara Jakarta.
 
Guru Marzuki dilahirkan pada malam Ahad (Minggu) di kediaman ayahnya, Rawa Bunga Jatinegara pada 16 Ramadhan 1293 H (5 Oktober 1877 M). Sejak umur sembilan tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat sang ayah, yang kemudian hanya diasuh oleh ibunya dalam suatu kehidupan yang sederhana. Setelah berumur 12 tahun, ibunya mengirimkan Marzuki kecil untuk belajar Alquran dan dasar-dasar ilmu agama pada seorang ustaz yang bernama Anwar. Baru pada umur 16 tahun, Guru Marzuki diserahkan kepada ulama keturunan Arab, yang bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan (bukan Sayyid Usman bin Yahya meskipun sama-sama seorang keturunan Arab).

Dari sisi aliran teologi, Guru Marzuki mengikuti mazhab 'Asy'ari. Dari karya-karyanya di bidang teologi, terungkap bahwa Guru Marzuki berdiri di antara 'disiplin dalam beragama' dengan toleransi kepada sesama Muslim. Secara individual, Guru Marzuki menekankan 'kedisiplinan' dalam akidah dan ibadah. Namun, dalam konteks relasi sosial sesama Muslim Guru Marzuki mengedepankan toleransi, terbukti dari pandangan yang hati-hati dalam memberi penilaian kafir. Pengungkapan pemikiran Guru Marzuki dapat menyumbangkan khazanah intelektual mengenai persoalan kafir yang hingga kini menjadi isu yang selalu muncul di Indonesia. Pemikiran Guru Marzuki memberikan kontribusi bagi sejarah pemikiran Islam moderat di Indonesia.

Atas permintaan Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan, Guru Marzuki, atas persetujuan ibunya, pergi ke Mekah untuk beribadah haji dan menuntut ilmu agama layaknya ulama Jawi (Nusantara-Indonesia) pada masa itu. Ia berangkat menuju Mekah pada tahun 1325 H (1907/8M). Marzuki muda pulang kembali Jakarta pada 1332 H (1913/14 M), dan diminta oleh gurunya Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan untuk menggantikannya mengajar ilmu agama di Masjid Jami' al-Anwar Rawa Bangke (Rawa Bunga) Jatinegara, Jakarta Timur hingga gurunya wafat. Kemudian, dalam catatan riwayat yang ditulis oleh Muhammad Baqir Marzuki, Guru Marzuki pindah ke Kampung Muara atau yang lebih dikenal dengan Cipinang Muara, sebuah wilayah di bagian Timur Jatinegara. Hal ini terjadi pada tahun 1340 H (1921/22 M). Hal ini disebabkan keadaan di Rawa Bunga sudah tidak memungkinkan lagi untuk tempat belajar dan mengajar agama karena lingkungannya sudah rusak. Tidak jelas benar apa yang dimaksud dengan "lingkungan yang sudah rusak" ini? Namun, tampaknya yang dimaksud adalah sudah rusak dalam konteks moralitasnya, sebab dalam riwayat Guru Marzuki disebutkan bahwa ketika Guru Marzuki memutuskan pindah ke Muara, kondisi Rawa Bunga sudah tidak lagi kondusif untuk belajar para santri yang dapat mengganggu psikologi belajarnya.

Di Kampung Muara inilah, yang sekarang menjadi wilayah Cipinang Muara Jatinegara, Guru Marzuki mengajar dan menulis kitab. Banyak murid dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta (Batavia) berdatangan untuk belajar kepadanya. Begitu juga banyak penduduk setempat yang memeluk agama Islam karena dakwahnya. Banyak pula murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal. Dalam banyak karyanya ia selalu menuliskan bahwa ia berasal dari Kampung Muara. Hingga saat ini masjid yang awalnya dibangun olehnya masih berdiri.

Guru Marzuki juga mempelajari tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat 'Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata, yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Usman bin Hasan al-Dimyati. Tarekat 'Alawiyyah ini merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia. Tarekat ini cukup populer di Hadramaut yang merupakan daerah asal para pendakwah yang membawanya ke Asia Tenggara. Di Indonesia, tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula menetapkan syaikh tertentu. Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawatib (bacaan rutin sehabis salat wajib 5 waktu) yang diwarisi secara turun temurun sejak Rasul Saw, dan sahabatnya. Para pemukanya juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong untuk selalu membaca rawatib dan wirid-wirid.

Guru Marzuki wafat pada 25 Rajab 1352 H (Senin 13 November 1934 M), dan dimakamkan berdekatan dengan komplek Masjid Al-Marzuqiyah di kawasan Cipinang Muara sekarang. Ia meninggalkan tiga orang istri dan sembilan orang putra serta sembilan orang putri. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) memberikan penghargaan kepadanya karena telah ikut mendirikan NU di Batavia/Jakarta pada tahun 1928 dan ia juga menjadi Rais Syuriah hingga wafat. Salah seorang cucunya, KH Umairah Baqir (anak dari KH Muhammad Baqir) menikah dengan adik kandung seorang tokoh NU terkenal, KH Idham Chalid (Marzuki, Tth. (a); Wawancara dengan Muhammad Baqir (cicit Guru Marzuki) pada 21 Mei 2015 malam hari di Kantor Urusan Agama (KUA) Jatinegara Jakarta Timur.

Guru Marzuki memiliki banyak murid yang juga menjadi ulama terkenal, terutama yang berada di lingkungan masyarakat Betawi (yang sekarang masuk dalam wilayah Jakarta dan Bekasi). Sebagaimana dalam keterangan yang dibuat oleh Muhammad Baqir Marzuki, setidaknya ada 70 murid yang pernah belajar kepada Guru Marzuki, yang kemudian menjadi ulama. Beberapa nama ulama yang cukup dikenal oleh masyarakat Betawi di Jakarta maupun di Bekasi adalah KH Noer Ali Ujung Harapan Bekasi (1913-1992), KH. Muhammad Tambih Kranji Bekasi (1907-1977), KH Abdullah Syafii Bali Matraman Jakarta Selatan (1910-1985), KH Thohir Rohili Bukit Duri Jakarta (1920-1999) dan KH Hasbiyallah Klender (1913-1982) serta ulama lainnya. Tidak heran bila ia dijuluki sebagai "guru ulama Betawi".

Oleh: Rizqa Fathurrahmah, Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute.

Source:

Posting Komentar

0 Komentar