Header Ads

Mengenal Guru Marzuki Cipinang Muara, Gurunya Ulama Betawi [1]

Mengenal Guru Marzuki Cipinang Muara, Gurunya Ulama Betawi [1]


PecintaUlama.ID - Orang biasanya menyebutnya Guru Marzuki Cipinang Muara walau di kitab-kitab yang dikarangnya ia menulis namanya dalam bahasa Arab Melayu tidak ada kata Cipinang, yaitu Guru Marzuqi Muara. Ada yang menulisnya dengan Marzuki, bukan Marzuqi. Saya terakhir kali berkunjung ke makamnya yang berada di Kompleks Masjid Jami Al-Marzuqiyah Cipinang Muara (Senin, 1/12/2014), tertulis di poster silsilah namanya dengan tulisan Marzuki.

Nama Lengkap Guru Marzuki adalah As-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa'ad bin Abdurrohman bin Sulthon yang diberikan gelar dengan "Laksmana Malayang" dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Pattani, Thailand Selatan. Ibunya bernama Hajjah Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur. Almarhum Haji Syihabuddin adalah salah seorang khotib di masjidf Al-Jami'ul Anwar Rawabangke (Rawa Bunga) Jatinegara Jakarta Timur.

Guru Marzuki dilahirkan pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Ramadlan 1293 H di Rawabangke (Rawa Bunga) Jatinegara Batavia (Jakarta Timur). Ketika ia berusia enam tahun, ia dikirim oleh ibundanya, Siti Fatimah, belajar ilmu agama kepada kakeknya, Syaikh Syihabuddin Al-Maduri, khatib dan pendiri masjid di Rawa Bangke, depan stasiun Jatinegara. Pada usia 9 tahun, ayahandanya, yang juga menjadi gurunya, wafat. Pada usia 12 tahun, ia diserahkan kepada sorang 'alim al-ustadz H Anwar untuk mendapat pendidikan dan pengajaran Alquran serta berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya.

Menurut Ridwan Saidi, selain kepada Ustadz H Anwar, Ia juga didik oleh Guru Bakir yang bergelar birul walidain, anak yang berkhidmat kepada orang tua. Makam Guru Bakir terdapat di serambi samping masjid Rawa Bunga (Rawa Bangke), Mester. Orang Betawi Kampung Mester menyebut Guru Bakir sebagai Dato Biru. Kemudian, untuk memperluas ilmu agamanya, maka ibundanya menyerahkan lagi kepada 'Allamah Sayyid 'Utsman bin Muhammad Banahsan.

Melihat kejeniusan dan kekuatan hafalan dari Marzuki muda, pada usianya keenam belas tahun, Sayyid Utsman mengirimnya ke Makkah untuk belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, hingga mantiq. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Sehingga dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan, serta dikembangkan. Guru-gurunya di Makkah diantaranya adalah Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad Ridwan, Syaikh Syaikh Hasbulloh Al-Mishro, Syaikh Umar Al-Sumbawi, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz At-Tarmisi, Syaikh Sa'id Al-Yamani, Syaikh Abdul Karim Ad-Dagestani dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Dari gurunya yang lain, yaitu Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Makkah), Guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan Tarekat Al-Alawiyah.

Saat memasuki tahun ke-7 beliau bermukim di Makkah, datanglah sepucuk surat dari Sayyid Utsman yang meminta agar Guru Marzuki kembali ke Jakarta. Maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Makkah beliau kembali pulang ke Jakarta dengan tugas menggantikan Sayyid Utsman (guru beliau) dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya. Tugas yang diamanatkan ini dilaksanakan sebaik-baiknya sampai Sayyid Utsman wafat.

Pada tahun 1340 H, ia melihat keadaan di Rawa Bangke (Rawa Bunga) sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengembangkan agama Islam, karena lingkungannya yang sudah rusak. Ia segera mengambil suatu keputusan untuk berpindah ke Kampung Muara. Di sinilah ia mengajar dan mengarang kitab-kitab, di samping memberikan bimbingan kepada masyarakat.

Nama dan pengaruhnya semakin bertambah besar, karena bimbingannya banyak orang-orang kampung memeluk agama Islam dan kembali ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Tak hanya itu, para santri dan pelajar banyak berdatangan dari pelosok penjuru untuk menimba ilmu kepada beliau. Sehingga tepat kalau akhirnya kampung tersebut dijuluki "Kampung Muara", karena di sanalah muaranya orang-orang yang menuntut ilmu. Pada pagi hari Jumat jam 06.15 WIB tanggal 25 Rajab 1352 H, Guru Marzuki wafat. Jenazahnya dikebumikan sesudah sholat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai lapisan masyarakat, yang jumlahnya amat banyak sehingga belum terjadi saat-saat sebelumnya. Acara sholat jenazahnya diimami oleh Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang).

Adapun kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah, berisi tentang fiqih, akhlak, akidah, yaitu:
  1. Zahrulbasaatin fibayaaniddalaail wal baroohin
  2. Tamrinulazhan al-'ajmiyah fii ma'rifati tirof minal alfadzil 'arobiyah
  3. Miftahulfauzilabadi fi 'ilmil fiqhil Muhammadiyi
  4. Tuhfaturrohman fibayaniakhlaqi bani akhirzaman
  5. Sabiluttaqlid
  6. Sirojul Mubtadi
  7. Fadhlurrahman
  8. Arrisaalah balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral isaawi wal 'ibaad
Guru Marzuki dijuluki sebagai "Gurunya Ulama Betawi", dalam pengertian, dari murid-murid yang dididiknya banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka. Di dalam satu keterangan ada sekitar empat puluh satu ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah: 
  • Mu'allim Thabrani Paseban (kakek dari KH Maulana Kamal Yusuf)
  • KH Abdullah Syafi'i (pendiri perguruan Asy-Syafi'iyyah)
  • KH Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah)
  • KH Noer Alie (Pahlawan Nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi)
  • KH Achmad Mursyidi (pendiri perguruan Al-Falah)
  • KH Hasbiyallah (pendiri perguruan Al-Wathoniyah)
  • KH Ahmad Zayadi Muhajir (pendiri perguruan Az-Ziyadah)
  • Guru Asmat (Cakung)
  • KH Mahmud (Pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi)
  • KH Muchtar Thabrani (Pendiri YPI Annuur, Bekasi)
  • KH Chalid Damat (pendiri perguruan Al-Khalidiyah)
  • KH Ali Syibromalisi (pendiri perguruan Darussa'adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta). 
(Sumber: Rakhmad Zailani Kiki dan Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic Centre, 2009)

Source:

Posting Komentar

0 Komentar