Header Ads

Ternyata Separuh Jiwa Jerusalem Berada di Jawa

Menara Kudus dan Masjid Al-Aqsha Kudus
Oleh Kang Zakaw Sastra*

PecintaUlama.ID - Kota suci Jerusalem, menurut bahasa Ibrani "Jerusalem" berasal dari kata Yerushalayim yang berarti "warisan perdamaian", dari Yerusha yang berarti "warisan" dan Shalom yang berarti "damai". Sedangkan menurut literatur arab berasal dari kata Darussalam, bermakna "rumah kedamaian", dari Ad-Daru yang berarti "rumah" dan As-Salam yang berarti "kedamaian".

Namun apapun itu asal-usul epistomologi maupun terminologi, secara realita sungguh berbeda dengan keadaan dan kondisi sekarang di Jerusalem. Kota suci bagi tiga agama besar yang ketiganya merupakan agama samawi yang terdiri dari Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ketiganya sudah lebih dari 5.000 tahun selalu hidup berdampingan dengan damai.

Konflik panjang tak berujung antara Palestina dan Israel tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Jerusalem. Pihak Palestina meyakini bahwa Jerusalem adalah tanah air mereka, karena di dalamnya terdapat kompleks bangunan Masjidil Aqsa, masjid suci ketiga bagi umat muslim setelah Masjidil Haram di Makkah, dan Masjid Nabawi di Madinah. Sementara itu, pihak Israel meyakini bahwa Jerusalem merupakan Tanah Perjanjian yang disebutkan di dalam Kitab Perjanjian Lama dan kompleks Masjidil Aqsa merupakan situs peninggalan kerajaan Nabi Sulaiman A.S., satu-satunya kerajaan termegah dan terbesar yang pernah ada di dunia.

Puncak dari semua itu adalah pecahnya konflik-konflik antara Palestina dengan Israel pada Juli-September 2002. Lalu kita juga dikejutkan dengan penyerangan oleh angkatan laut Israel terhadap kapal Mavi Marmara, peristiwa ini terjadi pada tahun 2012. Pada saat itu, kapal ditumpangi oleh para relawan dan wartawan dari berbagai negera yang membawa donasi untuk para masyarakat Palestina dan Jalur Gaza, akan tetapi pihak Israel justru menyandera kapal tersebut. Belum lagi dengan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional pada 1 Juni 2018, yaitu penembakan kepada petugas paramedis Palestina, Razan An-Najjar. Padahal dalam Konvensi Jenewa disebutkan jika seorang non-combattan itu tidak boleh dijadikan lawan ketika dalam keadaan perang. Termasuk seorang non-combattan itu adalah petugas medis, relawan, wartawan, dan warga sipil yang tidak bersenjata.

Jerusalem Masih Menjadi Jerusalem
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengatakan bahwasanya ibukota Israel adalah Jerusalem, ini terjadi pada Rabu, (6/12/17) di White House. Presiden yang dalam kampanye politik mempunyai slogan "Be An America Great Again" pun menginstruksikan agar pemindahan kedutaannya ke Jerusalem dilakukan sesegera mungkin. Bahkan mengajak negara-negara lain untuk ikut melakukan apa yang Amerika Serikat lakukan. Dan sudah pasti hal ini mengundang kecaman dari masyarkat Internasional, bahkan tidak sedikit yang mengecam tindakan Amerika Serikat ini. Senin, (14/5/18) secara resmi Amerika Serikat memindahkan kantor kedutaan besarnya ke Jerusalem, hal ini kemudian diikuti oleh peta GPS (Global Positioning System) pada aplikasi Google Maps, yang mana aplikasi tersebut berasal dari Amerika Serikat.

Jerusalem tetaplah Jerusalem, kota suci bagi tiga agama besar di dunia (Islam, Nasrani, dan Yahudi). Tidak akan pernah berubah aura dan jiwanya, jika melihat pada histori yang ada. Meskipun kini kota suci itu tengah disengketakan oleh Israel dan Palestina. Akan tetapi bagi masyarakat Internasional, Jerusalem adalah kota yang penuh sejarah dan peradaban. Konon menurut sejarah Islam, kota ini dijuluki dengan Baitul Maqdis yang berarti "rumah yang disucikan". Bahkan sampai abad modern ini masih banyak yang menyebut Jerusalem dengan sebutan Baitul Maqdis.

Kedekatan antara Baitul Maqdis dengan Kudus
Mengenai Baitul Maqdis, di daerah di pesisir utara Pulau Jawa terdapat sebuah kabupaten yang bernama Kabupaten Kudus yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Sekilas memang ada kemiripan antara "Baitul Maqdis" dengan "Kudus". Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Sayyid Jakfar Shadiq (Sunan Kudus) sebagai penyebar agama islam di Kudus dan sekitarnya pada abad ke-16 Masehi. Sedikit mengulik fakta, bahwa sebelum bernama Kudus, daerah ini bernama Tajug, yang berarti "menjorok" menurut arti dari Bahasa Jawa.

Dalam ceritanya Sunan Kudus itu dahulu pernah dipanggil oleh Seorang Sultan dari Baitul Maqdis (Jerusalem) untuk mengobati seorang putrinya yang sudah sakit sikan tahun dan tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Atas keberhasilan pengobatan yang dilakukan Sunan Kudus tersebut, Sang Sultan lalu menawarkan Sunan Kudus ini untuk menjadi menantunya. Akan tetapi hal ini ditolak secara halus, dan Sunan Kudus hanya meminta segenggam tanah dan sebongkah batu prasasti dari Baitul Maqdis.

Sepulangnya dari Jerusalem, Sayyid Jakfar Shadiq (Sunan Kudus) kemudian mendirikan Masjid yang nantinya dinamakan Al-Masjid Al-Aqsha pada tahun 1549 M. di Tajug sebagai syiar agama islam pada zamannya. Hal inilah kemudian yang menyebabkan daerah Tajug diganti namanya menjadi Kudus. Pada tahun yang sama dilanjutkan dengan membangun Menara Kudus, tepat di sebalah Al-Masjid Al-Aqsha ini. Akan tetapi hal yang membuat takjub adalah bangunan serta arsitektur Menara Kudus ini mirip dengan candi pada kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Ini merupakan taktik dan pendekatan yang dilakukan Sunan Kudus untuk meluluhkan hati masyarakat Kudus yang pada saat itu masih banyak yang memeluk agama Hindu dan Budha. Bahkan pada pancuran air wudlu terdapat ukiran berbentuk Dewa Ganesha, yang mana dewa ini sangat dihormati oleh masayarakat asli sekitar Kudus. Gerbang masuk kompleks Menara Kudus pun berbentuk Gapura seperti pada zaman Hindu- Budha.

Menara Kudus
Sebagai penghormatan pada masyarakat asli sekitar sekitar Kudus yang masih beragama Hindu-Budha, Sunan Kudus mengimbau para warga Kudus dan anak-cucunya agar tidak menyembelih sapi. Karena sapi dianggap merupakan kendaraan Dewa Syiwa. Banyak keramik-keramik dari Tiongkok yang ditempelkan di dinding-dinding Menara Kudus. Lalu lambat laun banyak para keturunan Tionghoa bermukim di Kudus, bahkan banyak yang berjualan di area Menara Kudus. Jika masih tidak percaya, sekitar 200 meter di timur Menara Kudus terdapat tempat ibadah bagi para pemeluk Konghuchu, yang mana mayoritas Tionghoa menganut agama ini. Syiar Islam dari Sunan Kudus pun tidak menghilangkan tradisi-tradisi Jawa yang pada kala itu masih banyak yang menganut kepercayaan Kapitayan dan Kejawen. Akulturasi budaya terjadi di sini, Sunan Kudus memadukan unsur Jawa dengan Islam agar para masyarakat sekitar tidak ada keberatan hati dalam memeluk agama islam.

Kudus, Kota Kecil di Pesisir Utara Jawa
Terletak di Provinsi Jawa Tengah dengan 6 51'-7 16' Lintang Selatan dan 110 36'-110 50' Bujur Timur. Kudus bahkan sampai sekarang selalu menjunjung tinggi toleransi, tidak peduli apa agamanya, apa sukunya, apa budayanya. Pada 23 September 2018, Kudus akan berusia 469 tahun, semakin dewasa akan kehidupan sosial masyarakatya. Bahkan kesejahteraan di Kudus ini termasuk tinggi dan merata, walaupun secara teritorial kabupaten ini sangat kecil sekali. Berbagai industri baik dari skala kecil sampai skala besar lahir di kota kecil ini, begitu pun industri-indsutri kreatif sangat didukung oleh pemerintah dan masyarakat sekitar. Sehingga enam agama yang ada di Indonesia dapat hidup secara damai dan saling berdampingan di Kudus, termasuk juga beberapa kepercayaan lokal.

Dalam catatan sejarah tidak pernah ada aksi saling teror, semoga hal ini pun akan selalu berlaku demikian. Walaupun Islam merupakan mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat, dan terdapat banyak sekali pondok pesantren di Kudus. Para penganut Katholik dan Protestan juga mempunyai tempat ibadah yang sudah tersebar di berbagai wilayah di Kudus ini. Umat Konghuchu pun demikian dengan klenteng-klentengnya yang dominan akan warna merah menyala tersebut. Warga penganut Hindu dan Budha pun diijinkan untuk membangun Pura dan Viharanya. Bahkan penganut kepercayaan Kejawen dan Kapitayan masih ada beberapa di daerah dataran tinggi Kudus, tepatnya di sekitra Gunung Muria. Pada intinya semua agama dan kepercayaan di Kabupaten Kudus diberikan kebebasan dalam beragama dan beribadah, tidak ada istilah teror maupun radikal, dan semua semua mempunyai ruang gerak masing- masing sesuai koridornya. Kudus selalu seperti ini, dan semoga kelak akan selalu ini. Inilah Kudus yang bagaikan Jerusalem di pesisir utara Jawa. Kudus, "Jerusalem Van Java".

Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Wahid Hasyim Semarang Jurusan Hubungan Internasional & Kader PMII Unwahas

Posting Komentar

0 Komentar