Header Ads

Niat Puasa Ramadhan; RamadhaNA ataukah RamadhaNI?

Photos: Pixabay/HNBS
PecintaUlamaID - Puasa Ramadhan merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Salah satu yang harus kita lakukan agar puasa bisa sah adalah melakukan niat Puasa Ramadhan.

Namun, sering kita temukan redaksi perbedaan bacaan dalam niat Puasa Ramadhan, tepatnya pada lafadz Ramadhan. Terkadang ada yang membaca RamadhaNa dengan nun dibaca fathah (Na), terkadang ada juga yang membacanya RamadhaNi dengan nun dibaca kasrah (Ni). Lantas mana yang benar?

Dalam kajian ilmu nahwu, lafadz Ramadhan merupakan Isim Ghairu Munsharif. Hal ini dikarenakan ia mempunyai akhiran huruf alif dan nun.

Dalam ilmu nahwu, Isim Ghairu Munsharif mempunyai pembahasan dan hukum yang berbeda dengan Isim-isim yang lain. Selain tidak bisa menerima tanwin, tanda baca untuk Isim ini ketika berkedudukan jer/khafadl adalah dibaca fathah. Ini sesuai dengan yang ada dalam satu bait ِِAlfiyah karangan Syekh Ibnu Malik:

وَجَرِّ بِالْفَتْحَةِ مَالَا يَنْصَرِفْ # مَالَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ

"Setiap Isim Ghairu Munsharif itu dijerkan dengan harakat fathah, selama tidak mudlaf (diidlafahkan) atau tidak jatuh sesudah al,"

Jika kita melihat kedudukan lafadz Ramadhan dalam lafadz niat di atas, maka ia berkedudukan sebagai mudlaf ilaih dari lafadz Syahr. Tak hanya itu saja, ia juga menjadi mudlaf pada lafadz Hadzihis Sanati.

Secara kaidah nahwu, seharusnya lafadz Ramadhan dibaca menggunakan harakat kasrah (harakat asli jer) menjadi ramadhaNI bukan ramadhaNA. Sehingga untuk kasus ini, jernya Isim Ghairu Munsharif (lafadz Ramadhan) yang menggunakan harakat fathah tidak berlaku lagi, sebab lafadz Ramadhan menjadi mudlaf terhadap lafadz hadzihis sanati.

Keterangan semacam ini juga terdapat dalam kitab-kitab fiqh mengenai cara pembacaan lafadz Ramadhan dengan harakat kasrah (RamadhaNI). Di antara kitab tersebut adalah kitab I'anatut Tholibin karya al-'Allamah Abu Bakr Utsman bin Muhammad Syata al-Dimyathi al-Bakri (1300H), seorang guru terkenal di Masjidil Haram Makkah pada zamannya Juz 2 Hal. 253 ketika menerangkan lafadz niat Puasa Ramadlan sebagai berikut:

...(قَوْلُهُ: بِالْجَرِّ لِإِضَافَتِهِ لِمَا بَعْدَهُ) أَيْ يُقْرَأُ رَمَضَانِ بِالْجَرِّ بِاْلكَسْرَةِ، لِكَوْنِهِ مُضَافًا إِلَى مَا بَعْدَهُ، وَهُوِ اِسْمُ الْإِشَارَةِ.

"...(ucapan penulis: dengan jer, karena idlafahnya lafadz Ramadhan terhadap lafadz setelahnya) maksudnya lafadz Ramadhan dibaca jer dengan kasrah, karena kedudukannya sebagai mudlaf terhadap lafadz setelahnya yaitu Isim Isyarah."

Akan tetapi, bisa saja lafadz Ramadhan dibaca menggunakan fathah dengan memberhentikan kedudukannya sebagai Mudlaf Ilaih dari lafadz syahr. Dengan syarat lafadz sesudahnya berupa lafadz hadzihis sanah dibaca nashab dengan harakat fathah, karena berkedudukan menjadi Dharaf Zaman. Sehingga cara membacanya adalah 'An ada'i fardli syahri RamadhaNA hadzihis sanaTA. Namun cara seperti ini jarang digunakan oleh kitab-kitab fiqh, sebab mayoritas kitab memudlafkan lafadz Ramadhan pada lafadz hadzihis sanati untuk menunjukkan kekhususannya.

Wallahu A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar