Header Ads

Gus Nadir: Kenapa Gagal Paham Munas NU?

Gus Nadir: Kenapa Gagal Paham Munas NU?

PecintaUlama.ID - Telah terjadi ketimpangan antara literatur fiqih siyasah klasik dengan perkembangan negara modern di dunia Islam. Literatur klasik masih bicara hal-hal seperti darul Islam, darul harbi, kafir zimi, kafir harbi, baiat, dan seterusnya. Padahal konsep khilafah telah berganti menjadi negara-bangsa, kategori kafir zimi berganti dengan konsep kewarganegaraan, dan konsep baiat sudah diperluas dalam sistem pemilu yang berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya.

Sebagai penjaga rumah bersama bernama Indonesia, para ulama Nahdlatul Ulama (NU) sejak awal berdirinya sudah meletakkan keislam dan cinta tanah air dalam satu tarikan napas organisasi. Para ulama telah ber-istikharah untuk mengisi ketimpangan antara literatur klasik dan perkembangan kekinian.

Ketika KH Achmad Siddiq sebagai rais am tahun 1984 memelopori penerimaan asas tunggal Pancasila dan menganggap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final, sejarah mencatat kontribusi luar biasa para ulama NU memecah kebuntuan diskursus Islam dan Pancasila. Ada sebagian kelompok yang menerima Pancasila hanya sebagai siasat temporer ketika tak sanggup berhadapan dengan cengkeraman kekuasaan Orde Baru. Nanti, kalau mereka berkuasa, akan muncul warna aslinya untuk kembali ke negara Islam.

Namun, ulama NU tegas menolaknya. Pengakuan akan bentuk final NKRI mengisyaratkan bahwa NU tidak menerima dalam keadaan terpaksa, tapi dengan argumentasi keagamaan yang kukuh. Lima tahun yang lalu dalam munas tahun 2014, para ulama melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa yang wajib itu mengangkat pemimpin, bukan menegakkan sistem khilafah.

Jawa Pos edisi 4 Maret 2019

Kafir di Masa Khilafah

Maka, timbul pertanyaan baru: Jika konsep negara-negara bangsa sudah diterima secara sah, bagaimana dengan orang-orang kafir yang hidup di dalam sistem negara-bangsa? Bagaimana kedudukan mereka? Apakah mereka tetap masuk dalam kategori zimi seperti yang diregulasikan di masa klasik?

Sebagia contoh, di masa Khilafah Utsmani ada yang dinamakan millet, di mana komunitas Kristen dan Yahudi diberi hak otonom untuk berindak atas nama hukum agama mereka yang berkenaan dengan hukum personal, selama tidak bersinggungan dengan muslim. Sebelumnya Al-Hakim Biamrillah, khalifah keenam Fatimiyah di Mesir, membuat aturan orang Kristen pada saat itu diminta memakai kalung salib yang berat dan panjang. Sedangkan Yahudi disuruh memakai kayu yang sama panjang dan beratnya dengan salib orang Kristen. Itu semua sebagai penanda bahwa mereka bukan orang Islam dan dilecehkan karena keyakinannya. Sebagaian terpaksa memeluk Islam karena tidak tahan dengan pelecehan ini.

Sejarah masa lalu juga menceritakan bahwa umat Kristen yang enggan masuk Islam diharuskan membayar jizyah (pajak) dan negara sebagai gantinya harus melindungi mereka. Tidak boleh mereka diperangi dan kemudian mereka disebut dengan kafir zimi. Sementara pada kaum kafir yang agresif menyerang komunitas muslim, mereka diberi kategori kafir harbi yang boleh diperangi. Ini contoh dua kategori kafir di masa klasik. Cocokkah kemudian kategori kafir itu dalam konteks kekinian negara-bangsa?

Konsekuensi dalam menerima konsep negara-bangsa, kita juga harus menerima konsep warga negara. Semua warga negara dipandang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ibarat kata, semua wajib pakai helm saat mengendarai motor, mau itu kiai, pastor, biksu, atau biarawan. Mereka juga boleh memilih dan dipilih saat pileg dan pilpres. Terserah orang mau memilih mereka atau tidak, tapi yang jelas siapa pun tidak boleh dihalangi mencalonkan diri selama sesuai aturan main.

Bukan Mengganti Kafir dalam Akidah

Dengan demikian, sebenarnya masalahnya cukup sederhana. Munas NU tahun 2019 yang baru saja berakhir tidak membahas istilah kafir dalam iman atau akidah. Tidak benar gorengan sebagian pihak seolah ulama NU hendak menghapus surah Al Kafirun dalam Alquran. Sekali lagi, konteks pembahasannya adalah dalam kerangka hidup bernegara.

Kita lihat saja Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tidak ada pembagian rakyat ke dalam kategori kafir atau muslim. Begitu pula hak dan kewajiban tidak dibedakan. Yang ada malah jaminan konstitusi untuk semua umat beragama beribadah sesuai dengan agama masing-masing.

Tidak pula ada kaitannya fatwa munas NU ini dengan warga negara asing yang diduga memiliki e-KTP dan kemudian dihoakskan akan ikut memilih saat pilpres nanti. Terlalu jauh menggoreng hasil munas NU ke arah itu. Sama sekali gagal paham.

Tidak juga benar bahwa munas NU telah dibajak oleh kelompok liberal. Masalah menyebut orang kafir dengan muwathinun (warga negara) ini jauh-jauh hari sudah dibahas oleh ulama, termasuk dari kalangan Ikhwanul Muslimin. Misalnya, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, baik dalam bukunya Al-Halal wal Haram fil Islam halaman 292-297 maupun dalam bukunya Khitabuna al-Islam fi Ashr al Aulamah halaman 46-47. Beliau mengusulkan mengganti istilah kafir dengan nonmuslim dan mengganti istilah ahl dhimmah dengan warga negara (muwathinun).

Jadi, sebenarnya kalangan di luar NU yang menolak keputusan munas NU tidak perlu gagal paham karena ulama seperti Syekh Yusuf al-Qaradhawi saja sudah membahasnya jauh-jauh hari. Di Mesir, kolumnis Fahmi Huwaidi dan hakim agung Tariq al-Bishri juga sudah membahas topik warga negara ini sebelumnya. Tapi, ketika organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU, mengambil keputusan tegas soal ini, kok banyak yang gagal paham ya?

Dalam dunia modern saat ini, meskipun seorang muslim, saya tetap harus mengajukan aplikasi visa kalau hendak ke negeri muslim di Timur Tengah. Kenapa? Karena saya bukan warga negara mereka. Artinya, konsep keimanan jangan dicampuradukkan dengan konsep bernegara. Setiap negara berhak menentukan wilayah dan warga negara masing-masing. Ilustrasinya seperti itu untuk menunjukkan aplikasi praktis konsep warga negara saat in.

Sekali lagi, sebenarnya tidak perlu gagal paham dengan keputusan munas NU. Istilah kafir dalam bahasan akidah tidak disinggung dan tidak diotak-atik. Yang dibahas adalah istilah kafir dalam konteks bernegara. Putusan NU hanya mengisi kekosongan literatur fiqih siyasah klasik mengenai warga negara dalam konteks negara-bangsa. Sesederhana itu memahaminya. (*)

Oleh: Nadirsyah Hosen
*Rais Syuriyah PCI NU Australia-New Zealand (ANZ) dan dosen senior Monash Law

Dikutip dari Jawa Pos edisi Senin, 4 Maret 2019

Posting Komentar

0 Komentar