Header Ads

KH Ibrahim Hosen, Sang Mujtahid Fatwa

Prof KH Ibrahim Hosen, LML (Sumber : Nineelc)
PecintaUlama.ID - "Fiqih itu luas. Jangan terpaku pada satu mazhab saja," dawuh K.H. Abbas Abdul Jamil.

Kata-kata itulah yang selalu terngiang dalam benak putra kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan K.H. Hosen dan Siti Zawiyah. Ayahnya seorang ulama dan saudagar keturunan Bugis, sedangkan ibunya merupakan keturunan Kerajaan Salebar, Bengkulu.

Lahir pada tanggal 1 Januari 1917 di Tanjung Agung, Bengkulu, Ibrahim mengawali perjalanan ilmiahnya di Singapura pada Madrasah Assegaf (1927). Sampai kelas empat, beliau pindah ke Mu'awanatul Khair Arabische School (MAS), Tanjung Karang, Lampung (1929). Sekolah tersebut didirikan oleh ayahnya. Setelah itu, beliau mengembara ke Jakarta, melanjutkan studinya di SMP Darul Muallimin Jamiatul Khaer (1934).

Tak puas dengan hanya bersekolah, beliau mulai memperluas cakrawala keilmuannya dengan mengaji di Cilegon, Banten, dengan berguru pada KH Abdul Latif. Guna mendalami ilmu al-Qur'an, Kiai Ibrahim muda berpindah ke Serang, Banten, untuk menimba ilmu kepada KH Tubagus Soleh Ma'mun.

Dari Serang-lah, beliau berangkat ke Buntet Pesantren. Di Buntet, beliau mengaji ilmu mantiq, fiqih dan usul fiqih. Kiai Abbas yang dikenal seorang sufi dan ahli pada bidang tarekat, ternyata mengenalkan pemikiran fiqih kontemporer lintas mazhab pada santrinya itu sehingga mengantarkan Ibrahim mengambil studi di Fakultas Syariah, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, ayahanda Prof Nadirsyah Hosen ini menyempurnakan rihlah nyantrinya pada Sayyid Ahmad di Solo dan KH Sanusi di Sukabumi. Beliau juga tercatat sebagai siswa Zjokyu Kanri Gakka (Sekolah Pegawai Tinggi Negeri), Batu Sangkar (awal 1945).

Mujtahid Fatwa
KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI saat ini, menyatakan bahwa Ketua Komisi Fatwa MUI sejatinya adalah KH Ibrahim Hosen. Siapapun yang menjabat tempat tersebut hanyalah mewakili sang pencetus lahirnya MUI itu.

Beliau KH Ibrahim pada Oktober 1970 mengusulkan hadirnya sebuah majelis ulama sebagai wadah ijtihad kolektif. Gagasan yang muncul pada konferensi tentang lembaga ijtihad kolektif itu sempat ditentang oleh Buya Hamka yang pada akhirnya menjadi Ketua MUI pertama, 1975. Pada saat itu, Buya Hamka mengusulkan perlu adanya mufti negara saja, bukan majelis.

Pemikiran beliau seringkali menuai polemik di tengah masyarakat. Tetapi beliau tak asal melontarkan hasil ijtihadnya. Hal itu ditopang pondasi metodologi yang kokoh. Kebenaran ilmiah harus ditegakkan, ujarnya. Polemik itu muncul di antaranya saat beliau memperbolehkannya KB pada tahun 1967, membolehkan hakim dari kaum wanita pada tahun 1974, dan pendapatnya yang paling kontroversial adalah saat beliau menyatakan bahwa Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) bukanlah maisir (judi).

Polemik terakhir itu menuai banyak cemoohan dari berbagai pihak. Namun beliau menjawab cemoohan itu dengan cara akademis. Menurutnya, setelah menyimpulkan dari berbagai literasi yang beliau baca, maisir itu permainan yang mengandung unsur taruhan dan dilakukan berhadapan. Illat berhadapan ini dapat menimbulkan permusuhan dan lupa Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maisir itu tidak haram karena dirinya (li dzatih), tetapi sebagai bentuk mencegah kerusakan (li syadz dzariah).

Karena tidak mengandung unsur berhadapan, maka SDSB statusnya mubah (boleh). Namun, pada praktiknya menimbulkan efek negatif, hal tersebut dapat berubah menjadi haram. Haramnya SDSB ini bukan karena maisir, tetapi karena adanya larangan pemerintah, begitu terang Kiai Ibrahim.

Sebagai bentuk penghargaan atas pemikirannya yang sangat brilian, tim penulis biografinya yang dipimpin Prof Hasbiallah memposisikan beliau sebagai mujtahid fatwa. Hal ini juga diungkapkan oleh guru besar IAIN Makassar, Prof. Dr. Umar Shihab. Menurutnya, Kiai Ibrahim bukan sekadar faqih, tetapi beliau itu mujtahid. Dengan sangat rendah hati, beliau menolak sebutan tersebut.

Ulama, Intelektual dan Birokrat
Tahun 1943, beliau terpilih sebagai Imam Besar Residen Bengkulu di bawah pemerintahan Jepang saat itu. Beliau pernah menjadi wakil Majelis Tarjih Muhammadiyah Bengkulu dalam sidang Tarjih Besar Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1954. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Sumatera Selatan pada tahun 1965. Selama dua dekade, 1980-2000, beliau memimpin Komisi Fatwa MUI.

Dalam beberapa kampus, beliau juga pernah menduduki jabatan penting, yakni rektor IAIN Palembang pada taahun 1964-1966. Sebelumnya, beliau menjadi dosen terbang Universitas Islam Sumatera Utara (UISI) Medan (1961) dan dekan Fakultas Syariah IAIN Palembang merangkap IAIN Jambi (1962-1964). Pada tahun 1979 beliau diangkat sebagai guru besar Fakultas Syariah IAIN Jakarta. Selain di Jakarta, beliau juga menjabat sebagai guru besar hukum Islam di IAIN Sumatera Utara, IAIN Riau, IAIN Palembang, IAIN Sunan Gunung Jati, UISU Medan dan UNISBA Bandung.

Atas rekomendasi alumni Buntet Pesantren, pada tahun 1971, beliau mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qu'ran (PTIQ), khusus untuk mahasiswa, sekaligus menjadi rektor pertamanya dan Institut Ilmu al-Qu'ran (IIQ), khusus untuk mahasiswi, pada tahun 1977. Dua perguruan tinggi itu ia dirikan di Jakarta.

Beliau juga pernah tercatat sebagai birokrat penting. Beliau menjabat sebagai Koordinator Urusan Agama Keresidenan Bengkulu (1950-1955). Setelah itu, beliau aktif sebagai Pegawai Tinggi Departemen Agama RI (1961-1962). Lalu beliau terpilih sebagai Kepala Biro Humas dan Luar Negeri Departemen Agama RI (1966-1971). Hingga pensiun beliau menjabat sebagai staf ahli Menteri Agama (1971-1982). Setelah beliau pensiun, beliau menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998). Beliau juga pernah menjabat sebagai Konsultan Kepala BKKBN dan Konsultan Ketua Mahkamah Agung RI. Beberapa kali beliau pernah menolak jabatan, di antaranya Wakil DPRD Bengkulu (1947) dan Duta Besar Arab Saudi (1967).

Berpulang ke Rahmatullah
Setelah delapan hari dirawat di Mount Elizabeth Hospital, Singapura, Prof. Dr. Ibrahim Hosen berpulang ke haribaan-Nya dalam usia 84 tahun, 7 November 2001 M/21 Sya'ban 1422 H. Beliau sendiri yang meminta berobat ke tempat di mana beliau pertama kali mengenal sekolah formal, Madrasah Assagaf, 1927, setelah merasa jantungnya kembali sakit. Beliau beristirahat terakhir di komplek pemakaman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten.

*Disarikan dari berbagai sumber

Sumber:

Posting Komentar

0 Komentar