Header Ads

Pedoman Memilih Ustaz


Ingatan saya masih sangat jelas, menghafal nazam Tuhfatul Athfal adalah kewajiban kami, anak-anak kelas dua diniyah di Pesantren dulu. Sebuah nazam yang dianggit oleh Syaikh Sulaiman Al-Jamzuri. Entah, beliau sudah haji atau belum, bukan karena kita tidak sempat mempermasalahkannya waktu itu, tapi memang karena kami tidak tertarik sama sekali, atau lebih tepatnya kami tidak memiliki naluri untuk mempertanyakan hal remeh-temeh yang menurut kami tidak subatansial seperti itu.

Nazam itu jumlahnya hanya berbilang puluhan bait saja. Isinya berbicara seputar ilmu tajwid. Anda tahu, ilmu tajwid adalah ilmu paling dasar yang digunakan sebagai bekal membaca Al-Quran dengan baik lagi benar macam istilah KBBI itu. Tolong dicatat, ini baru sebatas ilmu untuk membaca ya, belum ilmu untuk mengartikan. Mengapa? Ini penting untuk dikemukakan supaya kita paham akan betapa berkelok dan berlikunya jalan untuk mempelajari Al-Quran.

Nun jauh setelah kami bertungkus lumus belajar tajwid, kelak kami akan disuguhi aneka macam pelajaran: ulumul Qur'an, ulumut tafsir, ilmu balagah: badi, bayan, ma'ani. Ringkas kalimat, untuk bisa membaca, mengartikan, apalagi menafsirkan Al-Quran itu jalannya sungguh berkelok-kelok, curam nan tajam.

Cara begini ini, kelak dimaksudkan untuk menghidari produksi manusia-manusia karbitan yang setengah matang yang baru hafal tujuh ayat saja ucapan, perilaku, dan juga tindakannya seolah-olah yang paling paham isi Al-Quran, akrab dengan penerbitnya dan kenal dengan pengarang-Nya. Absurd memang, tapi semoga paham.

Pada salah satu nazam Tuhfatul Athfal ada sebuah bait berbunyi seperti ini: "Shif dzà tsanà kam jàda syakhsun qad samà * Dum thaiyyiban zid fi tuqan dza' dhàliman"

Bait ini sepintas lalu kelihatannya hanya berbicara rumus huruf ikhfa (kalau ndak ngerti ikhfa sebaiknya belajar Iqra dulu). Rangkaian huruf yang ada di depan setiap suku kata dalam nazam tersebut adalah huruf ikhfa. Ketika huruf-huruf itu bertemu dengan nun mati, maka di sana terjadilah bacaan ikhfa' atau gampangnya nun mati ketika bertemu komplotan huruf tersebut maka harus dibaca samar.

Namun, yang menarik, jauh di balik yang kasat dan nampak itu, Anda tahu, sesungguhnya ada sebuah rumus bekal hidup yang ditawarkan pengarang dan ini penting serta relevan untuk konteks saat ini.

Pertama: Shif dzà tsanà kam jàda syakhsun qad samà. Ikutilah jejak dan lelaku orang-orang terpuji. Betapa banyak orang-orang yang diangkat derajatnya. Kedua: Dum thaiyyiban. Lestarikanlah berbuat baik. Lakukan yang terbaik. Ketiga: zid fi tuqan. Tambah terus kualitas ketakwaan. Terakhir: dza' dhàliman. Tundukkan kezaliman.

Dari bait itu kita belajar bahwa ada tiga tahap yang musti kita lakukan dan bereskan terlebih dahulu dalam diri kita sebelum terburu-buru koar-koar melawan kezaliman. Pertama: bergumul dan meneladani pribadi-pribadi yang baik. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga, berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas ketakwaan. Setelah itu semua beres, barulah kita “boleh” berperang melawan kezaliman.

Produk begini inilah--yang lahir dari kedalaman ilmu dan keteduhan sikap-- jarang kita temukan hari ini. Banyak ustaz bertebaran, mengecambah, bak cendawan di musim hujan. Usia mereka, juga mungkin energi keilmuannya—karena karbitan—juga persis dengan usia kecambah yang tidak bisa bertahan lama.

Lalu apa dagangan mereka? Hijrah. Yak. Sekali lagi hijrah. Di zaman yang ultra jahiliyah ini, dagangan hijrah laris manis. Para ustaz membangun imaji publik bahwa satu-satunya pilihan yang bisa menyelamatkan diri kita dari kepungan aneka ancaman duniawi adalah hijrah.

Harus diakui, pilihan tema dagangannya memang bagus sekali. Ikon Islam sesungguhnya bukanlah Al-Quran, bukan pula Nabi Muhammad SAW. Bukan. Ikon Islam adalah hijrah. Itulah mengapa hijrah dipakai sebagai penanda tahun atau kalender. Ia adalah tonggak perubahan. Ia adalah titik tolak peradaban.

Hijrah dalam makna yang sangat konvensional tentu saja perpindahan dari suatu yang dinilai buruk menuju sesuatu yang dinilai baik. Jika merujuk teritori terentu, maka hijrah adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain yang lebih baik. Aspek lebih baik ini penting untuk selalu disematkan, sebab titik tekan hijrah ada di sana. Jika hanya sekedar berpindah, namun tidak bisa merengkuh kebaikan, maka itu namanya bukan hijrah.

Sejatinya, naluri makhluk hidup itu selalu bergerak dan hijrah menuju kualitas "kehidupan" yang lebih baik. Frasa kehidupan ini bisa berdimensi duniawi dan ukhrawi, tergantung cara pandang kita.

Burung-burung di utara akan terus bergerak menuju selatan jika di utara telah tidak tersedia makanan lagi untuknya. Taruhlah pot berisi tanaman apa saja di dekat jendela. Maka ketika tanaman itu tumbuh dan membesar, ikan akan bergerak menuju cahaya yang meneranginya. Itulah yang disebut dengan hijrah. Itulah sunnatullah.

Namun pangkal soalnya adalah dimensi hijrah sangatlah luas. Tidak melulu dimaknai hitam di atas putih soal-soal agama semata. Artinya hijrah bukan perkara ritus ubudiah saja, namun juga ritus muamalah. Aspek hijrah bukan soal saleh ritual, namun juga saleh sosial. Di tangan ustaz-ustaz kemarin sore, celakanya hijrah hanya dimaknai sebatas urusan ritual, fesyen, gaya hidup, bahkan berujung pada 'insdustrialisasi’. Dari yang tidak behijab menjadi berhijab. Dari yang bisanya medengarkan musik metal menjadi penggemar nasyid. Dari pengagum satria baja hitam menjadi pengagum Sooraya Qadir a.k.a Dust.

Ketika hijrah ke Madinah, Anda tahu, Nabi tidak menjadi pribadi yang autis, yang asyik-masyuk dan maniak dengan ibadah ritualnya sendiri, namun lebih dari itu, Nabi membangun tatanan masyarakat yang "madani", yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Bukan masyarakat yang ekslusif, anti liyan, alergi perbedaan. Kalau yang disebut belakangan ini namanya masyarakat medeni, bukan madani.

Dan ini yang tidak kalah penting, tren hijrah—karena memang kental nuansa industrialiasi—kerap pada individu-individu tertentu hanya bertahan seumur kangkung. Mereka babak belur dan terberak-berak untuk istiqamah. Makanya, barangkali benar kata papatah akhir zaman, istiqamah memang berat, kalau ringan namanya istirahat.

Memilih ustaz memang tak semudah memilih sirup Marjan~

*) Pengajar linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, penulis buku

Posting Komentar

0 Komentar