Image: Pixabay/LubosHouska |
Oleh: Abdul Hafidz Muhammad
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, riya' merupakan salah satu sifat tercela yang paling kronis. Namun betapapun demikian, meninggalkan ketaatan dengan dalih takut riya' merupakan sebuah pandangan yang keliru dan tidak bisa dibenarkan secara mutlak. Sikap yang demikian itu, malah akan membuat setan kegirangan. Karena sikap tersebut sesuai dengan salah satu visinya, yakni menghalangi bani adam dari berbuat ketaatan pada Allah Ta’ala dan memprovokasi mereka agar putus asa dari rahmat Allah yang sangat luas tak terbatas.
Sikap sebagaimana judul di atas, hemat penulis ibarat seseorang yang tidak mau lagi belajar mengendarai sepeda motor dengan dalih takut jatuh atau kecelakaan. Padahal, manfaat sepeda motor itu sungguh banyak jika kita mau menggunakannya dengan baik dan benar. Selain itu, dampak negatif yang ditakutinya, akan semakin kecil jika mereka mau berlatih secara rutin. Karena itu hemat penulis, sikap yang benar adalah tetap belajar mengendarai sepeda motor seraya berusaha sekuat tenaga agar bisa ahli dalam mengendarainya dengan tetap berhati-hati agar tidak terjatuh dan tidak mengalami kecelakaan di jalan.
Al-Ghazali (Ihya': 3:313) juga menyinggung permasalahan di atas. Menurut beliau, sikap semacam itu termasuk sikap yang keliru dan sesuai dengan (visi) setan. Secara ringkas terkait hal ini, –setelah penulis mencoba mendalami pembahasan tersebut dalam kitab ihya'nya– penulis menarik kesimpulan bahwa, sikap “meninggalkan ketaatan karena takut riya' adalah sebuah kekeliruan. Yang terpenting bagi kita adalah terus melakukan ketaatan dan berlatih dengan sungguh-sungguh, seraya berdoa mohon bantuan pada Allah Swt agar ibadah kita dijadikan amal yang bersih dari riya atau ikhlas hanya berharap ridha Allah semata. Lebih-lebih, jika ibadah badaniyah –yang hendak ditinggalkan – menyangkut ibadah-ibadah yang hukumnya wajib. Seperti shalat maktubah, puasa Ramadhan, zakat, haji, dst.
Di samping itu juga, –solusi terkait dengan pemasalahan di atas–, sikap yang demikian itu, dapat dicegah dengan cara membiasakan diri, mengoreksi terlebih dahulu tujuan ketaatan kita sebelum melaksanakan ibadah. Lebih dominan mana antara tujuan ridha Allah atau tujuan duniawi seperti mengharap pujian dari makhuk misalnya. Setelah itu, kita beribadah kepada Allah Ta'ala, dengan tetap berusaha semaksimal mungkin menjaga gerak hati kita agar terhindar dari sifat riya' pada saat dan setelah ibadah tersebut dilaksanakan. Atau, jika masih tidak memungkinkan, bolehlah kiranya, berpura-pura ikhlas dulu dalam menjalankan ibadah kita, dengan catatan, kepura-puraan tersebut tidak diterus-teruskan dan sesegera mungkin untuk dihentikan agar tidak menjadi karakter ibadah kita. Yakinlah, Insya Allah, suatu saat nanti apabila sudah terbiasa akan ikhlas dengan sendirinya dan tentunya atas pertolongan Allah Ta'ala. (Semoga Allah Ta'ala membantu kita untuk ikhlas).
Berikutnya, terkait dengan solusi kepura-puraan di atas, perlu penulis tegaskan bahwa, hal itu bukan berarti membenarkan praktik riya’. Tapi, sekedar solusi pembiasaan saja. Karena biasanya karakter orang yang suka berbuat riya’ itu, tidak istiqomah dan ibadahnya cenderung di saat-saat tertentu yang dianggap menguntungkan bagi mereka. Di samping itu juga, realitanya, masing-masing manusia memiliki ilmu dan kemampuan yang berbeda-beda dan ibadahnya pun bertingkat-tingkat. Karena itu, hal ini harus diterapkan secara bijak dan bertahap agar nafsu kita tidak memberontak, yang pada akhirnya mengarah pada kehancuran dan keputus asaan. Selain itu juga, patut dipahami bahwa sejatinya ikhlas itu merupakan rahasia Allah yang ditaruh dalam hati hamba-hambaNya yang dicintaiNya. Sehingga terkadang diri kita sendiri, merasa kesulitan untuk memastikan apakah ibadah kita itu benar-benar tulus ikhlas atau sebaliknya.
Akhirnya, semoga kita dimudahkan oleh Allah Swt untuk beribadah dengan ikhlas dan tulus hanya karena Allah Ta'ala semata. Seraya berdoa, mohon ampun dan mengakui akan dosa dan kelemahan kita. Pantang putus asa dari rahmatNya, terus berusaha, berdoa dan tawakkal pada Allah Ta'ala.
والله اعلم بالصواب
AHM. 12 Juni 2017
0 Komentar